15 Juli 2010

Lebih Imajinatif, Radio Rawan Pelanggaran

Frekuensi adalah milik publik, media yang menggunakan frekuensi ini, yaitu televisi dan radio perlu diatur karena pengaruhnya kepada masyarakat sangat besar. meskipun televisi masih menjadi favorit masyarakat Indonesia, tetapi radio justru patut mendapatkan perhatian dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Dalam kunjungannya ke stasiun MNC Radio Network, anggota KPI Pusat Ezki Tri Rezeki mengatakan kalau radio dalam menyajikan program siarannya lebih rawan terjadi pelanggaran karena radio memberikan kebebasan kepada pendengarnya untuk berimajinasi sesuai dengan keinginan sendiri.

Kunjungan 3 anggota KPI Pusat yaitu Ketua KPI Pusat Dadang Rahmat Hidayat, anggota KPI Pusat Ezki Tri Rezeki dan Iswandi Syahputra ke MNC Networks dalam rangka sosialisasi Perilaku Program Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) KPI tahun 2009.

Menurut Iswandi Syahputra, walaupun TV masih digemari oleh masyarakat Indonesia bukan berarti radio luput dari kesalahan. Iswandi membenarkan bahwa imajinasi di radio lebih berbahaya, ia memberikan contoh program konsultasi seks, program ini harus lebih berhati-hati lagi jangan sampai apa yang dibicarakan justru membangkitkan hasrat seksual. Pada periode baru ini, KPI akan lebih meningkatkan pengawasannya terhadap radio.

MNC Radio Networks terdiri dari Trijaya Network, ARH Global Radio, Women Radio dan Radio Dangdut TPI. Dadang Rahmat Hidayat dalam pembicaraannya dengan pihak MNC Radio Networks menegaskan kalau lembaga penyiaran sebaiknya tidak lupa untuk membela kepentingan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Read More ..

01 Juli 2010

Radio Komunitas Masih Terhambat

Dari sekitar 1.000 radio komunitas di 35 kabupaten dan kota di Jawa Tengah, belum satu pun yang sudah mengantongi izin penyelenggaraan penyiaran (IPP). Hal ini, antara lain, disebabkan sukarnya pengelola radio komunitas untuk mengurus syarat perizinan karena mereka masih disamakan dengan radio swasta. Untuk mengajukan izin, pengelola radio komunitas ataupun swasta sama-sama harus mengajukan studi kelayakan dengan memerinci sumber dana, prospek 1–5 tahun mendatang, rencana program, serta mereka juga harus menyertifikasi alat yang akan digunakan untuk mengudara.

Biaya sertifikasi ini besarnya relatif sama antara radio komunitas dan radio swasta, yakni sekitar Rp 13 juta. Padahal, untuk radio komunitas, harga alat yang digunakan hanya berkisar Rp 10 juta. Selain itu, radio komunitas bersifat nonprofit dan bertujuan mendidik masyarakat. Wilayah cakupan mereka juga hanya dibatasi beradius 2,5 kilometer.

Kondisi ini juga diperparah minimnya kesadaran masyarakat pengelola radio komunitas untuk mengurus permohonan perizinan penyiaran. Demikian disampaikan anggota Bidang Perizinan pada Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah Hari Wiryawan kepada wartawan di Bawen, Kabupaten Semarang, Selasa (29/6).

Menurut dia, dari seluruh radio komunitas, sekitar 47 radio komunitas sedang dalam proses pengurusan izin. Selama ini, kata dia, mereka beroperasi dengan memanfaatkan frekuensi yang dianggap kosong berdasarkan pemantauan manual. Kondisi ini bisa memicu perang frekuensi karena kerap juga menggunakan frekuensi radio swasta.

”Ini sudah pelanggaran pidana. Bahkan, di Sragen, pernah ditemukan radio komunitas yang mengganggu frekuensi penerbangan. Akhirnya, bisa ditangani oleh balai monitoring,” ujar Hari Wiryawan.

Ketua KPID Jateng Budi Sudaryanto menambahkan, sebetulnya izin siaran bagi radio komunitas juga bertujuan untuk melihat sejauh mana pengelola mampu menjaga kontinuitas siaran. Sangat disayangkan jika frekuensi yang terbatas dimanfaatkan radio komunitas yang tak bisa berlanjut. ”Kami mengusulkan ada revisi aturan yang lebih akomodatif bagi radio komunitas. Jangan disamakan dengan swasta. Selain itu, buka juga kemungkinan frekuensi dibagi untuk beberapa radio dengan pembagian waktu,” kata Hari Wiryawan.

Read More ..