26 Oktober 2008

Paguyuban Penikmat Masa Lalu via Radio

Tulisan Harian Kompas Minggu : Lagu-lagu lama era 1960-1980-an mengajak orang untuk mengenang masa lalu. Di Bandung dan sekitarnya, para pemilik masa lalu itu membentuk komunitas bernama Paguyuban Lita. Nama Lita diambil dari stasiun radio yang setiap hari selama tiga jam memutar lagu lawas. Mereka terikat dalam satu kenangan, pada suatu masa yang hadir lewat lagu.

Di radio, suatu kali terdengar lagu Seruling Bambu yang populer di awal era 1960-an lewat suara Oslan Husein. Sekadar pengingat, lagu itu dibuka dengan lirik, ”Dari jauh/ terdengar suara merdu/ Sayup-sayup/ bagaikan buluh perindu...”. Begitu lagu usai, seorang pendengar menelepon ke studio Radio Lita FM 90.95 Bandung. Kepada sang penyiar, yang akrab dikenal dengan nama Teh Imas, pendengar yang seorang ibu itu terisak-isak di ujung telepon.
”Rupanya pendengar itu sedang perang dingin dengan suaminya. Waktu mendengar lagu Seruling Bambu, dia teringat masa lalu waktu mereka berpacaran,” kata Teh Imas. ”Lagu itu meluluhkan hati saya. Rasa benci saya kepadanya jadi hilang. Saya hanya mengingat yang indah-indah ketika ia pertama kali pegang tangan saya,” kata sang penyiar menirukan tuturan pendengar yang tersentuh oleh sebuah lagu.

Teh Imas (54) adalah pengasuh acara Lingkaran Keluarga yang disiarkan setiap hari pada pukul 09.00-12.00 oleh Radio Lita, Bandung, Jawa Barat. Acara itu khusus memutar lagu-lagu lama era 1960-1970an. Lagu yang bisa dibilang ”termuda” datang dari pertengahan era 1980-an. Itu artinya sudah hampir seperempat abad silam.

Era 1960-an memang seperti hadir kembali di udara. Lagu dari Tetty Kadi, seperti Teringat Selalu, Pulau Seribu, dan Pramugari Udara, mengalun atas permintaan pendengar. Ini mengingatkan pada acara pilihan pendengar yang paling digemari di era 1960-1970-an.
Juga lagu dari Anna Manthovani, seperti Gita Malam dan Angsa Putih. Lagu Dedi Damhudi, Gumpalan Mega, Di Tepi Kolam, yang saat ini langka terdengar. Dari tahun 1968-1969, hadir Titiek Sandhora dengan Fujiyama. Kemudian di awal 1970-an ada Duri Penghalang dari band asal Bandung, Paramor. Juga Halo Sayang dari De Hands, grup asal Surabaya dengan vokalis Nono alias Mus Mujiono.

Dari era tahun 1964-1965 terdengar Tuti Subardjo Berikan Daku Harapan atau dari Oni Surjono Burung Berkicau. Ada pula yang lebih tua lagi, yaitu lagu Oslan Husein, seperti Mama Minta Kawin sampai Tahu Tempe.

Paguyuban
Sang ibu yang menangis tadi hanyalah salah seorang dari ribuan pencinta lagu-lagu lama yang diasuh Teh Imas sejak sepuluh tahun lalu. Pendengar membentuk beberapa komunitas. Salah satunya adalah Paguyuban Lita FM yang dibentuk tahun 2000. Kebanyakan anggota berusia 50 tahun ke atas. Mereka mengalami masa remaja di era 1960-an. Lily Sulastri yang di radio bersapaan Ibu Pranoto (56) pada pertengahan 1960-an masih pelajar SMP-SMA. ”Waktu itu lagu Tetty Kadi, seperti Teringat Selalu, Senandung Rindu, Pergi ke Bulan atau Sepasang Rusa, sedang top-top-nya,” kata Ibu Pranoto, yang adalah salah seorang penggagas paguyuban.

Sebelum terbentuk paguyuban, para pendengar itu hanya saling mengenal nama lewat udara. Mereka saling berkirim lagu dan salam lewat radio. Merasa terikat dalam satu kenangan yang sama tentang masa lalu yang dibangkitkan oleh lagu, mereka pun kemudian berinisiatif untuk melakukan kopi darat, alias bertemu secara langsung. Setiap bulan mereka berkumpul di rumah anggota atau juga di studio Radio Lita di Jalan Budi, Cimindi, Bandung. Hari Minggu (12/10), misalnya, sekitar 50 anggota berkumpul untuk mengadakan arisan. Kegiatan arisan merupakan sarana perekat anggota. Oleh Hajjah Ella Zubaedah, selaku pemilik Radio Lita, anggota Paguyuban sering dilibatkan dalam kepanitiaan kegiatan sosial yang diadakan Lita.
”Kami juga punya kegiatan simpan pinjam kecil-kecilan. Jadi, ada tanggung jawab moral untuk datang. Namun, tujuan kami intinya adalah silaturahmi dengan anggota yang punya hobi sama, yaitu mendengarkan lagu-lagu lama,” kata Nyonya Pranoto, yang ibu tiga anak dan nenek tiga cucu itu. Waktu pertemuan selalu diusahakan setelah tanggal 6 setiap bulannya.
Maklum sebagian besar anggota adalah pensiunan. ”Sebelum tanggal 6, uang pensiun belum turun sehingga sebagian anggota belum ada uang ha-ha.... Namun, jangan salah. Kami tetap penuh canda tawa,” kata Cucu Marliah (63).

Mereka memang masih tampak centil dan gaya. Canda tawa itu dipicu oleh cerita masa lalu yang dibangkitkan oleh lagu. Popong Halimah (60), anggota dari Cimahi, akan terkenang masa-masa pacaran ketika mendengar lagu The End of the World dari Skeeter Davis. Sang pacar yang kemudian menjadi suaminya itu kini telah meninggal. Cucu, Popong, Lily, dan anggota lain mengaku menemukan keluarga dalam paguyuban. Lewat Paguyuban, mereka seperti bertemu kawan segenerasi, senasib, yang sama-sama dinaungi oleh lagu-lagu yang sama mengalami masa lalu. ”Masa lalu yang hadir lewat lagu itu memberi kami semangat. Ternyata kami pernah muda. Ibarat aki yang sudah soak, kami di-charge lagi dengan lagu, ha-ha...!” kata Lily alias Ibu Pranoto.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Radio tetap pilihan utama! Bravo Radio...

Anonim mengatakan...

Bagi yang tak sempat dapat interaktif di Elshinta setiap malam pada acara Komisi, atau sudah bisa bergabung tapi jengkel atau masih ada unek-unek tak kesampaian, tulis saja comment di:

http://forumpendengarelshinta.wordpress.com/