"Hey! Apa kabar? Sehat? Emak baek? Kencing lancar? Biar mampus kalo nggak sehat!" Sedetik kemudian, musik mengudara.
Gaya sapaan Artha Bangun, penyiar Prambors tahun jebot yang berdarah Batak tapi berlogat Sunda, itu memang kasar. Tapi justru dengan itu dia populer di kalangan kawula muda saat itu. Sys N.S., bekas anggota MPR yang mengawali ketenaran dengan menjadi penyiar radio, juga punya segudang ejekan. "Bebek lu!" adalah di antaranya.
Pada awal 1970-an, ketika hampir semua penyiar radio menata omongannya dengan rapi dan berwibawa, menyapa pendengar dengan kasar, ber-elu-gue, adalah sebuah bentuk pemberontakan. Ini salah satu poin penting kesuksesan para penyiar radio anak muda masa itu, sejalan dengan jiwa mereka yang memberontak dan tak ketat norma.
Kini gaya kepenyiaran seperti itu mungkin tak terlalu populer. Kini zamannya ngocol. Sebenarnya, dari zaman dahulu, para penyiar radio anak muda dituntut untuk memiliki sense of humor yang tinggi. Tapi memang belakangan ngocol (bedakan dengan melawak) semakin digemari.
Hampir semua acara papan atas saat ini mengudara lewat duet yang memiliki kelebihan sel lucu di otaknya. Sebut saja Arie Dagienkz dan Desta di Putuss (Prambors), Rico Ceper dan Bedu di Spada (Mustang), serta Yosi Mokalu, vokalis Project Pop, dan Indra Bekti, presenter Ceriwis di Trans TV di Good Morning Hard Rockers (GMHR).
Melucu berjam-jam setiap hari tak mudah. Untuk tetap lucu--selain mengandalkan bakat lucu yang sudah dimiliki--Dagienkz dan Desta juga berharap pada berbagai buku "mati ketawa" yang berjejer di mejanya saat siaran.
Selain soal bahan, suasana hati pun perlu dijaga. "Pendengar tidak mau tahu apakah kita sedang dalam keadaan susah," kata Indy Barends, yang pernah bersama Farhan melambungkan GMHR.
Meski harus terdengar konyol, bukan berarti mereka boleh terdengar bego. Untuk itu Rico, misalnya, selalu menyediakan waktu untuk melahap berbagai bacaan: surat kabar harian, majalah politik, majalah remaja, dan sebagainya.
Pokoknya, ia harus tahu apa yang sedang terjadi di dunia ini dengan baik. Misalnya saja saat terjadi kericuhan antaranggota DPR. Menurut Rico, penyiar yang baik harus mengetahui detail hingga fraksi apa yang memulai kericuhan.
Selain itu, menurut Rico, penyiar harus memiliki imajinasi yang tinggi. Dengan imajinasi itu, diharapkan penyiar terbiasa melakukan improvisasi.
Bagi Tina Zakaria, yang pernah menjadi penyiar Hard Rock FM, menjadi penyiar di radio memerlukan kemampuan yang lebih dari penyiar televisi. "Tidak mudah menjadi penyiar radio, karena hanya dengan suara, penyiar harus membangkitkan theatre of mind," katanya. Yang dimaksud theatre of mind adalah membentuk imajinasi pendengar dengan pilihan kata-kata.
Meski harus direpotkan oleh urusan menghadirkan visual imajiner ke otak pendengar, penyiar radio bisa bekerja lebih rileks. "Pendengar tak akan tahu kalau kita belum mandi," kata Indy sambil tertawa.
Hal ini diiyakan oleh Dagienkz dan Desta. Saat siaran, mereka sehari-hari hanya memakai kaus-T, celana sedengkul, dan sandal. Entah apakah mereka sudah mandi saat memulai siaran pukul 6 pagi.
Yang penting, menurut Dagienkz, adalah bagaimana mereka bisa memahami dunia para pendengarnya, dunia anak muda. Tak jarang ia dan Desta nongkrong bersama dengan anak-anak sekolahan. Ini dilakukan untuk menjaga "darah muda" mereka supaya tetap segar, saat mereka sendiri sudah hampir kepala tiga. "Bahkan ada yang terkena Peter Pan syndrome, nggak mau tua," kata Nana Suryadi, Direktur Program Prambors.
Penyiar radio anak muda tidak hanya dituntut untuk memahami dunia anak muda, tapi juga menjadi teman dekat bagi mereka. Untuk menjadi teman, mereka harus sama-sama terbuka. Penyiar tidak bisa meminta pendengar untuk terbuka kepada mereka tapi mereka sendiri menutup-nutupi jati dirinya.
"Penyiar yang bagus adalah penyiar yang dekat dengan pendengar, bukan yang tinggal di menara gading. Ini berbeda dengan penyiar zaman dulu, yang namanya pun disamarkan.," kata Chandra Novriadi, Direktur Prambors.
Tempaan dan popularitas yang diperoleh selama menjadi penyiar radio ini tak jarang membuat para penyiar lebih mudah untuk menjadi bintang di tempat lain, seperti televisi dan layar lebar. Dari Sys N.S., Ida Arimurti, trio Warkop, Pepeng, Jimmy Gideon, Edwin, sampai generasi terakhir seperti Indy, Dagienkz, Tina Zakaria, dan Dave Hendrik adalah bukti dari hal itu.
Meski sudah ngetop, Indy tak akan pernah lupa bahwa semua yang dia dapatkan saat ini berawal dari radio. "Saya bersyukur dengan apa pun yang saya dapatkan. Saya merasa semua sudah melebihi dari apa yang pernah saya bayangkan," katanya. Sama dengan apa yang diungkapkan oleh Tina Zakaria. "Radio is my life. Aku tak akan pernah meninggalkan radio.... Aku hanya ingin tetap bersiaran." (Koran Tempo)
10 Maret 2009
Hatiku Berlabuh di Ujung Mikrofon
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar