09 November 2008

Acara Radio : Salam Darimu, Menempel di Hati...

Dari dulu sampai sekarang, radio menjadi sarana efektif untuk mengirimkan salam mesra, salam rindu, dan segala bentuk salam lain. Jauh sebelum ada teknologi SMS untuk berkirim salam seperti saat ini, pendengar radio mengirim salam lewat kartu yang disebut kartu pilihan pendengar alias pilpen. Pada kartu itu terdapat kolom nama pengirim, alamat pengirim, nama terkirim, judul lagu yang diminta, serta ucapan yang seru-seru tadi. Pada periode ketika radio swasta mulai mengudara di negeri ini, yakni akhir 1960-an hingga 1970-an, kartu pilpen itu harus dibeli di studio radio yang bersangkutan atau agen-agen penjualan yang ditunjuk. ”Zaman dulu, kirim salam lewat radio saja harus bayar,” ujar Sys NS, yang turut mendirikan Radio Prambors di Jakarta tahun 1969. ”Lewat radio, orang bisa naksir cewek. Ada juga yang merayu pacar dengan salam mesra tadi,” kata IG Hananta Sumarna (60-an), Direktur Usaha Radio PTPN FM 99.60, Solo, Jawa Tengah. Kartu yang sudah diisi ucapan salam kemudian dikirimkan ke studio. Di PTPN, kartu dibacakan bersama puluhan kartu lain pada acara Aneka Lagu buat Anda.

Agak berbeda dengan PTPN, pencinta Radio Sonora di Jakarta hingga era 1980-an harus mengirim permintaan lagunya lewat pos dengan menggunakan kartu pos. Tentu perjalanan sang kartu hingga ke meja siar memakan waktu berhari-hari. ”Satu orang saja bisa mengirim segepok kartu. Kartu yang belum dibaca bisa sampai sekardus televisi. Kami sampai menempatkan petugas khusus untuk mencatat kartu yang masuk,” kata Jane, salah satu penyiar senior yang bergabung dengan Sonora sejak 1983.

Romantisisme
Pengirim ada yang menggunakan nama samaran yang seram-seram. Tersebutlah misalnya Pemuda Sengsara di Lembah Derita, Dara Merana di Lembah Nestapa, Pemuda Lereng Gunung, atau Mutiara Terpendam di Negeri Jauh. Maklum saja, pada era itu romantisisme komik silat dari Ganes Th seperti Si Buta dari Goa Hantu atau Hans Jaladara dengan Panji Tengkorak-nya cukup berpengaruh. Budaya gaul ala radio itu sampai diabadikan dalam lagu Ernie Djohan berjudul ”Salam Tempel”, yang liriknya bercerita tentang radio amatir yang menjadi tempat menyampaikan rasa cinta kepada sang pacar. Setidaknya itu disebut dalam lirik lagu tersebut, ”Salam tempel darimu, menempel di hati....”

Menurut Hananta, karena kartu pilpen itu harus diantarkan langsung ke studio, radio di era itu menjadi pangkalan pergaulan kaum muda. Kaum muda berkelompok membentuk sanggar-sanggar yang muara kegiatannya berada di studio radio. ”Kalau sore mereka datang ke studio untuk kongko-kongko,” katanya. Dalam suasana akrab itu, pencinta radio dan penyiar saling mengenal secara pribadi. Hananta mengenang bagaimana sesama pendengar itu saling mengenal, saling berpacaran, dan ada pula yang berjodoh lewat radio. ”Saya sendiri juga ketemu istri di radio,” ungkapnya. (Harian Kompas Minggu)

Tidak ada komentar: