14 November 2008

KPID Jateng: Genre Format Siaran Masih Jadi Soal

Selama dua hari (12–13/11), KPID Jawa Tengah menggelar Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) di Kabupaten Tegal. Ada empat radio yang mengajukan permohonan izin. Dua radio swasta di antaranya merupakan peralihan izin dari AM ke FM, satu radio peralihan dari izin pemda, dan satu radio komunitas (pramuka) yang baru sama sekali.

Evaluasi diarahkan untuk menilai enam aspek, yakni: aspek pendirian, aspek manajemen dan SDM, aspek program siaran, aspek keuangan, aspek teknis, dan aspek visi, misi serta latar belakang. Untuk mendapatkan gambaran menyeluruh, selain komisioner sebagai evaluator, dihadirkan pula Kepala Balai Monitoring Frekuensi dan Orbit Satelit Kelas II Semarang, Kepala Dinhubkominfo Provinsi Jateng; Ketua Komisi A DPRD, Ketua MUI, Akademisi dan Kepala Dinhubkominfo dari Kabupaten setempat.

Khusus untuk aspek program siaran, menurut Drs. Amirudin MA, ketua KPID Jawa Tengah, memang masih ditemukan banyak hal yang belum ideal. Padahal aspek ini justru penting mengingat bayangan kepentingan publik haruslah terwujud di bagian ini. Adapun letak ketidak-idealannya yakni; Pertama, dari sisi kebutuhan publik (public necessities).

Radio di manapun tidak boleh lepas dari kebutuhan publik sebagai latar berdirinya radio itu. Rumusnya R = KP atau Radio merupakan pencerminan Kebutuhan Publik (lokal), bukan sekadar replika kebutuhan pemilik dan elite radionya saja. Karenanya, sebelum radio bersiaran, dituntut mampu membaca kebutuhan publik yang nantinya diformulasikan ke dalam format siaran. Publik butuhnya apa ? Kalau informasi, informasi apa; kalau hiburan, hiburan apa ? Dan semua itu sangatlah tergantung pada karakterisitik psiko-sosio-demografis maupun psiko-sosio-geografis masyarakatnya. Idealnya, format siaran merupakan fiksasi dari bangunan kebutuhan publik yang kompleks dan multi-identitas itu. Untuk itu radio diharapkan harus ”bertanya” terlebih dulu kepada mereka, atau paling tidak dapat ”mengintip” kebutuhan mereka. Apa sesungguhnya kebutuhan publik setempat; hal ini penting agar radio kelak benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Jangan sampai radio berlaku ”kasar” merampas hak publik untuk mendapatkan informasi dan hiburan tanpa bertanya lebih dulu kepada mereka.
Melalui riset sederhana (prelimenary studies), saya kira, upaya mendapatkan rancang bangun tentang kebutuhan publik dapat dilakukan.

Kedua, lanjut Amirudin, dari sisi kenyamanan publik (public convinience). Rasa nyaman selalu berkaitan dengan dua hal, yakni tingkat kenyamanan dalam menerima signal; dan kenyamanan berkenaan dengan tata krama, norma, etika, dan hukum yang berlaku di masyarakat. Dua hal itu yang selalu menjadi trigger ada penolakan publik pada radio kalau dua aspek mereka itu terganggu. Publik tentu sangat mengharap ada radio yang mampu memperhatikan dua rasa nyaman itu. Jika format siaran mereka – apalagi didukung dengan kemampuan teknologi penyiaran yang baik – pas dengan harapan akan rasa nyaman publik itu, tentu radio kelak akan mendapatkan pendengar loyalis yang tak diragukan.

Terhadap kedua hal itu, ungkap Amir, radio memang masih sering tergagap-gagap. Subyektivitas radio dalam merumuskan format siaran, masih terlalu menonjol. Itu yang menyebabkan radio selalu gagal merumuskan format siaran yang memiliki genre (aliran) yang unik sesuai kebutuhan dan rasa nyaman publik. Padahal jika setiap radio berhasil merumuskan keunikannya masing-masing dari sisi genrenya, saya yakin mereka tetap dapat survive di tengah persaingan ketat radio. Inilah tantangan bagi radio yang tengah mengurus izin; radio masih kesulitan merumuskan genre siarannya. (KPID Jateng)

Tidak ada komentar: