09 November 2008

Radio Memberikan Apa Maunya Pendengar

Harian Kompas Minggu : Suatu saat, Radio Kayu Manis, Jakarta, merekrut penyiar muda untuk regenerasi dan memperluas pasar pendengar. Didapatlah beberapa orang, tetapi belum sampai tiga bulan mereka sudah ”kabur”. Alasannya simpel, tidak betah bergaul dengan penyiar lain yang berusia di atas 40 tahun. Sebaliknya, karyawan berusia di atas 60 tahun—sambil nangis-nangis—tidak mau dipensiunkan. Radio Kayu Manis (RKM) FM yang mengudara di frekuensi 97,9 MHz bermaksud memperluas segmen pendengar yang selama ini ada, usia di atas 35 tahun. Dibikinlah acara Gebrak Band Pemula. Penyiar muda dirasa lebih cocok untuk memandu acara ini. Namun, karena tidak ada penyiar baru, Bung Tan (66) pun turun tangan.
Pada akhirnya, andalan RKM tidak jauh beringsut dari acara seperti Pentas Keroncong, Sandiwara Jawa, Sunda, Minang, Gending Jawa, dan Tembang Kenangan. ”Kami memiliki pendengar setia untuk ini. Ada komunitasnya lagi,” kata Direktur Utama (Dirut) RKM Tuning Saroso.

Kenyataan itu berkebalikan dengan Radio Gen, misalnya, yang usia karyawannya antara 25 hingga 30-an tahun. Direktur Utama Gen Adrian Syarkawi berusia 38 tahun. Pasar pendengar yang dibidik Gen (98,7 MHz) yang mulanya berusia 18-35 tahun juga terseleksi menjadi usia antara 20 hingga 24 tahun—usia anak kuliah dan pekerja pemula. Dari sini bisa dilihat, betapa radio saat ini makin tersegmentasi, membatasi usia pendengar dengan membatasi program. Bayangkan jika 1.300 radio di seluruh Indonesia (sekitar 800 yang resmi) menyajikan program yang sama untuk segala usia. Sangat sulit menggaet pendengar setia. Tak heran jika radio makin mempersempit diri. I-Radio atau Indonesia Radio hanya memutar lagu-lagu dari penyanyi Indonesia. Lalu ada Female Radio yang dari namanya sudah ketahuan segmen mana yang dibidik.

Prambors, yang dulu selalu memutar lagu-lagu top 40, kini memutar haluan, yaitu memutar lagu-lagu grup indie. ”Sejak dua tahun lalu, kami memiliki acara Thursday Riot. Ini siaran musik indie secara live dari genre britpop hingga emo,” tutur Program Director Prambors Niken Puspitawangi. Ramako kini berganti nama menjadi Lite FM dengan semboyan the best slow hits station. Bagaimana dengan Elshinta, Suara Metro, hingga RRI? Atau bagaimana dengan radio dangdut semacam Bens, DangdutTPI, dan Megaswara? Tiga radio dangdut itu menempati rating pertama, kedua, dan keempat berdasarkan survei AGM Nielsen terhadap radio-radio di Jakarta. Dangdut di Bens berbeda dengan dangdut di Megaswara. Betapa margin segmen pendengar mereka menjadi makin tipis.

Memberi mau pendengar
Semua radio pasti ingin memuaskan pendengarnya, memberi apa mau pendengar. Gen adalah salah satu yang dengan kesadaran penuh melakukan itu. Alhasil, baru didirikan 9 Agustus 2007 dengan membeli frekuensi Radio Attahiriyah, Gen sudah nangkring di rating satu (radio non-dangdut) berdasarkan survei AGB Nielsen untuk radio di Jakarta. Pendengar Gen mencapai 2,75 juta orang. ”Kami memberi yang sama dari pagi sampai malam, musik dengan human touch. Penyiar tidak banyak omong, hampir tidak ada acara talk show. Orang pencet Gen jam berapa pun, dia akan mendapat sesuatu yang sama,” kata Adrian. Hal ini klop dengan semboyan Gen, yakni suara musik terkini. Iklan pun disesuaikan dengan segmen pendengar. Jika iklan tidak bakal disukai pendengar, Gen tidak segan-segan menolak tawaran iklan. ”Daripada pendengar kabur,” ujar Adrian.

Berkebalikan dengan Gen, Elshinta yang siaran di 90,0 MHz justru tidak sekalipun memutar lagu selama 24 jam siaran. Radio ini menjadi satu-satunya stasiun yang khusus memberi berita dan informasi. Meski sangat membosankan, strategi ini justru membuat radio dengan tagline news and talk ini bertahan di tengah ketatnya persaingan di bisnis siaran radio. Elshinta berada di rating empat (non-dangdut) atau meraup pendengar 2,09 juta orang. Pemimpin Redaksi Radio Elshinta Iwan Haryono mengungkapkan, pemasang iklan rela antre untuk mendapat jatah slot siar. ”Antreannya sampai 3-6 bulan. Ada yang pasang slot iklan untuk lima tahun sekaligus,” katanya. Informasi dari Elshinta juga menjadi salah satu acuan buat warga, pejabat, polisi, dan wartawan media lain. Tidak sekali dua kali kantor berita asing melansir informasi dari radio yang berdiri tahun 1968 ini. Padahal, sampai tahun 1990-an Iwan masih bingung mengembangkan radio yang waktu itu masih radio spesialis musik jazz. Momen kerusuhan Mei 1998 menjadi awal mula radio ini mengarah ke radio berita, hingga akhirnya diresmikan tahun 2000.

Merombak RRI
Jangan bayangkan Radio Republik Indonesia (RRI) saat ini sama seperti RRI zadul alias zaman dulu, radio negara yang didirikan 11 September 1945 itu. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, RRI adalah lembaga penyiaran publik, satu badan hukum yang didirikan negara untuk kepentingan publik. ”Kami bukan corong pemerintah,” kata Dirut RRI Parni Hadi yang memimpin RRI sejak tiga tahun lalu. Parni menggambarkan dirinya sebagai penjaga kebun binatang yang membuka kandang unta agar sang unta bisa bebas lepas, tidak terkurung dalam kehebatannya sendiri. RRI hebat, tetapi selama ini terpenjara sehingga sumber dayanya tidak berkembang. Program terkini RRI adalah membangun pemancar radio di daerah perbatasan, misalnya di Atambua, Entikong, dan Merauke. RRI masih didengarkan khususnya di daerah. Berdasarkan survei, kata Parni, 85 persen warga di Ende, Nusa Tenggara Timur, mendengarkan RRI. Di Bangka-Belitung, 90 persen warganya mendengarkan RRI. ”Soal jaringan, kami tidak bisa dilawan. Kami memiliki 60 stasiun di Indonesia. Reporternya tersebar di tiap kabupaten bahkan kecamatan,” ujar Parni. Direktur Program dan Produksi RRI Niken Widiastuti mengatakan, RRI memasok kebutuhan pendengar. Maka, lantas ada Programa 1-4. Untuk penggemar menengah-bawah, terutama di daerah, Programa 1 paling disenangi. Yang suka musik dan gaya hidup, putarlah Programa 2. Yang gemar mendengarkan berita, pencet Programa 3.

Maka, seiring pasar yang menyempit, pendengar pun makin fanatik. Sedikit saja radio kesayangan melenceng dari jalur, kritik berdatangan. RKM, misalnya, pernah mendapat protes bertubi-tubi gara-gara menyiarkan iklan obat kuat. Wah, itu memang menyimpang dari semboyan RKM: lembut suaranya manis bisikannya.

1 komentar:

egie karpa mengatakan...

saya salah satu penggemar radio dan sekarang saya sedang kuliah di jogja semester 7 untuk mendapat galar sarjana pendidikan saya mengambil skripsi tentang radio tetapi program campursari...
anda sebagai orang yang perduli dengan radio semoga saja dapat membantu saya untuk menyelesaikan skripsi saya...
saya ingin tanya bagaimana interaksi yang terjadi antara pengemar radio campursari dengan penyiar dan sesama penggemar...
dan apa yang melatar belakangi para penggemar radio campursari mendengarkan radio...
dan kebanyakan para pendengar radio capursarikan para orang tua... nah kenapa mereka sempat-sempatnya mendengarkan radio apa tidak ada pekerjaan atau malah dengan radio para pendengar menjadi ditemani...

mohon jawabanya,,,

terimakasih sebelumnya...