09 November 2008

Sekali di Udara, Tetap di Udara

Judul di atas secara resmi adalah semboyan milik Radio Republik Indonesia. Namun, kalimat itu secara tepat menggambarkan secara umum dunia penyiaran radio di Tanah Air atau bahkan di seluruh dunia.

Zaman boleh berganti, teknologi baru bermunculan, dan gaya hidup orang pun telah berubah mengikuti segala sesuatu yang baru itu. Namun, ada satu teknologi lawas yang masih dibutuhkan dan digemari orang hingga abad ke-21 ini, yakni radio. Sejak stasiun penyiaran radio mulai didirikan di Inggris dan Amerika Serikat pada periode awal 1920-an, radio telah menjadi sumber informasi dan hiburan publik yang paling cepat dan luas jangkauan penyebarannya. Seiring dengan penemuan radio transistor pada 1950-an, yang membuat pesawat penerima siaran radio menjadi berukuran kecil dan ringan, siaran radio pun makin mudah dan murah untuk diakses. Namun, paruh kedua abad ke-20 menunjukkan kemajuan teknologi yang sedemikian pesat. Kaset, cakram padat atau compact disc, hingga file berformat MP3 dengan alat pemutarnya masing-masing, mulai menggantikan fungsi hiburan radio. Sementara kehadiran televisi, internet, dan SMS pelan-pelan menggusur fungsi informasi radio.
Matikah radio dengan kehadiran teknologi baru itu? Seperti yang kita ketahui bersama hingga detik ini, jawabannya tidak!

Masih dibutuhkan
Lihat saja ke dalam mobil dan perhatikan perangkat hiburan yang terpasang di dalamnya. Pemutar kaset sudah makin jarang ditemui pada perangkat ”tape” mobil terbaru dan diganti dengan pemutar CD, CD berisi file MP3, atau bahkan soket USB untuk menancapkan perangkat memori flash disk berisi berbagai format file audio. Namun, hingga produk ”tape” mobil yang paling baru sekali pun sampai saat ini masih memasukkan fungsi penerima radio untuk kanal AM dan FM. Sistem penerima radio FM pun menjadi fitur standar dalam sebagian besar pesawat telepon seluler yang paling mutakhir. Di negara-negara maju seperti AS atau Eropa sekalipun, orang masih mendengarkan radio di mobil, kantor, rumah, bahkan sebuah hotel bintang empat di Los Angeles pun masih menyediakan perangkat radio di dalam kamarnya.

Di Jakarta, jatah frekuensi untuk siaran radio komersial di kanal FM telah terisi penuh dan masih banyak yang antre. Artinya, bisnis siaran radio masih menjanjikan. ”Jangkauan kanal FM untuk siaran radio komersial ada di antara frekuensi 88,0-107,7 MHz, dan menurut peraturan pemerintah, jangkauan itu maksimal hanya boleh diisi 70 pemancar di satu wilayah,” kata Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Shidki Wahab di Jakarta, Jumat (7/11).

Senior Marketing Manager Sony-BMG Music Indonesia Kunto Handoyo menyebutkan, radio masih menjadi media paling penting dalam memasarkan musik kepada khalayak luas. ”Meski sudah ada internet, i-Pod, atau MP3 player, kami masih percaya sebuah lagu baru pertama kali dikenal luas masyarakat melalui radio,” ujar Kunto. Senada dengan Kunto, produser musik independen dan Direktur NuBuzz Music Daniel Tumiwa menyebut radio tetap menjadi media nomor satu untuk urusan penyebarluasan musik. ”Radio justru akan menjadi media yang paling lama bertahan meski ada media-media baru. Hanya formatnya saja yang nanti akan berubah,” ujar Daniel, yang sukses mengorbitkan kelompok Sind3ntosca setelah lagu hitnya, Kepompong, diterima luas di kalangan pendengar radio.

Personal
Apa yang membuat orang begitu setia pada radio? Praktisi dan pengamat dunia radio, Sys NS, mengungkapkan, sifat unik radio yang tak dimiliki media lain adalah unsur kejutan. ”Radio adalah surprise media karena pendengar tak akan pernah tahu lagu atau berita apa yang akan muncul selanjutnya. Sementara dengan kaset, CD, atau i-Pod, kita sudah hafal isinya sehingga tak ada unsur surprise dan lama-lama membosankan,” papar pria yang telah berkecimpung di dunia siaran radio sejak tahun 1969 ini. Sifat fleksibel dan interaksi yang dimungkinkan melalui radio juga bisa menciptakan kedekatan yang sangat personal. Hubungan antara penyiar yang memutarkan lagu permintaan pendengar atau membahas sebuah topik diskusi bisa terjalin akrab di zona nyaman masing-masing. ”Radio menciptakan hubungan yang menuntut sekaligus memicu imajinasi,” imbuh Sys.

Hubungan personal tersebut pada gilirannya membentuk loyalitas. Imajinasi dan loyalitas inilah yang tak ditemukan pada media seperti televisi. Di televisi, pemirsa tidak diberi kesempatan berimajinasi karena semua sudah tersaji lengkap secara audio visual. ”Di televisi, orang lebih loyal pada program acaranya, bukan pada stasiun TV-nya. Program Empat Mata, misalnya, diputar di stasiun mana pun akan tetap dicari orang. Sementara di radio, yang dibangun adalah loyalitas pendengar,” kata Direktur Utama Stasiun Radio GenFM Adrian Syarkawi. Radio memang tak pernah mati. (Harian Kompas Minggu)

Tidak ada komentar: